Text
Hukum Acara Perselisihan Hasil Pilkada Serentak di Mahkamah Konstitusi
Buku ini pada pokoknya hendak menguraikan proses beracara berdasarkan pedoman yang dimuat dalam PMK Nomor 1 dan 4 Tahun 2015, disertai proses sebelum pilkada serentak, baik pada saat di Mahkamah Agung maupun setelah dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi. Pada bab 2 didahului dengan uraian sekilas tentang dinamika pengisian jabatan tertinggi di pemerintahan daerah. Berikutnya, pada bab 3 diuraikan tata cara atau hukum acara perselisihan hasil pemilihan secara langsung pada saat menjadi kewenangan Mahkamah Agung, bagaimana dinamika dan praktik hukum acaranya, sehingga muncul putusan Mahkamah Agung yang ultra petitia, sampai adanya upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, meskipun putusan perkara perselisihan hasil bersifat final dan mengikat.
Pada bab 4 diuraikan mekanisme atau prosedur beracara atas perselisihan hasil pemilihan secara langsung ketika sesudah dilimpahkan ke Mahkamah Konstitusi, bagaimana hukum acara dan dinamikanya, sehingga belakangan justru lebih banyak dihadapkan pada sengketa proses yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pada bab 5, diuraikan hukum acara perselisihan hasil dalam pemilihan serentak, yang mulai dibatasi dengan presentase selisih perolehan suara. Sesuai dengan pedoman yang diterbitkan dalam PMK Nomor 1 Tahun 2015, diuraikan siapa saja subjectum litis yang dapat berkedsudukan menjadi pihak, apa objek perselisihan, kapan batas waktu pengajuan, alat bukti apa saja yang dipertimbangkan, serta bagaimana proses pemeriksaannya. Ada dua perbedaan mendasar soal waktu, yakni waktu pendaftaran hanya 3 x 24 jam sejak objek sengketa ditetapkan, dan waktu penyelesaian hingga diputus Mahkamah Konstitusi, yang semula hanya 14 hari, kini cukup panjang, menjadi 45 hari kerja. Selain itu, dibahas pula tentang mekanisme pengajuan perselisihan hasil pemilihan calon tunggal sebagai hal yang baru muncul sepanjang penyelenggaraan Pemilukada secara langsung, berdasarkan PMK No. 4 Tahun 2015.
Bagaimana halnya dengan pemohon yang bukan peserta dan soal pokok permohonan berdasarkan atas pelanggaran proses yang TSM? Baik UU Pemilihan serentak maupun PMK, keduanya tidak mengatur. Namun demikian, dari berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi sejak 2008 sampai 2014, alasan-alasan untuk diajukannya keberatan atas dasar dua hal tersebut tidak tertutup kemungkinan. Contoh kasus yang mempertimbangkan pelanggaran TSM dalam yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat dalam Bab 6.
Pada bagian penutup di Bab 7, diuraikan yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi yang mempertimbangkan pelanggaran terhadap hak untuk dipilih atau rights to be candidate. Sepanjang dapat dibuktikan adanya upaya penyelenggara menghalangi seseorang untuk menjasi peserta sehingga melanggara rights to candidate, ataupun dapat dibuktikan pelanggaran yang mencederai demokrasi, sepertinya Mahkamah Konstitusi tetap berpegang pada prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal. Tidak seorangpun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan pelanggraanyang dilakukan oleh orang lain, atau "nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propia".
Terdapat di gudang IndoArsip dengan nomor box 19121821
B005259 | 324.6 Wid h | Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev (PSHK) | Tersedia |
B005257 | 324.6 Wid h | Perpustakaan Hukum Daniel S. Lev (PSHK) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain